kebijaksanaan

“Kebijaksanaan adalah tongkat yang hilang bagi seorang mukmin. Dia harus mengambilnya dari siapa saja yang didengarnya, tidak peduli dari sumber mana datangnya.”

(HR. Ibnu Hibban)

“Hikmah itu merupakan buruan umat mukmin. Di mana saja ia menemukannya, maka dia lebih berhak untuk mendapatkannya.”

(HR Turmuzi dan Ibnu Majah)

Rabu, 27 Maret 2013

Manusia dan Takdir



Takdir adalah rukun iman yang ke 6 yang wajib di imani, namun aku merasa begitu sulit untuk memahaminya. Di kepala orang awam pada umumnya apabila masalah takdir dikaitkan dengan perbuatan manusia sering kali menimbulkaan berbagai pertanyaan, misalnya:

  • Jika segala sesuatu telah ditetukan oleh Allah SWT dan sudah di dituliskan di Lauh Mahfuzh, lalu untuk apa manusia berusaha? Apa peran dari usahanya itu?
  • Jika Allah SWT adalah yang menciptakan kita dan seluruh perbuatan kita, lalu mengapa Ia mengadili perbuatan jahat yang kita lakukan, sedangkan Ia yang menciptakannya?
  • Jika Allah SWT yang menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki, lalu kenapa orang-orang yang tidak mendapat petunjuk disiksa di neraka nanti?
Pertanyaan-pertanyaan itu pula yang menghinggapi kepalaku, membuatku pusing, mengaduk-aduk isi kepala dan hatiku, terutama pertanyaan yang ke tiga itu.
Akhirnya pada saat aku kuliah di semester 1 di sebuah buku referensi mata kuliah AIK (aqidah Islam dan Kemuhammadiyahan), aku menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas.
Pertanyaan-pertanyaan diatas dan pertanyaan-pertanyaan lain yang semacamnya timbul karena pemahamaman yang parsial terhadap Islam, atau dengan ungkapan lain karena memahami takdir sebagai suatu ajaran yang terlepas ddari konteks keseluruhan ajaran Islam. Memahami ayat Al-Qur’an tentang kemutlakan masyiah Allah SWT tanpa tanpa memahami bahwa Allah SWT juga memberikan masyiah kepada manusia, akan melahirkan pemahaman dan sikap jabariyah (meniadakan kehendak dan ikhtiar manusia); sebaliknya memahami ayat Al-Qur’an tentang mayiah dan iradah manusia tanpa memahami kemutlakan iraadah dan masyiah Allah SWT, akan melahirkan pemahaman dan sikap Qadariyah (manusia sepenuhnya yang menentukan perbuatannnya sendiri tanpa campur tangan Allah SWT); memahami ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa segala sesuatu telah dituliskan di Lauh Mahfuzh tanpa memahami bahwa tidak ada seorang manusia pun yang tahu apa yang telah dituliskan di sana, akan menyebabkan seeorang mempertanyakan untuk apa manusia berusaha; memahaimi bahwa Allah SWT menciptakan  segala sesuatu termasuk manusia dan perbuautannya tanpa memahami bahwa Allah SWT tidak pernah menyuruh manusia berbuat kejahatan  -bahkan menyuruh mereka berbuat kebaikan- , dan juga tanpa memahami bahwa manusia melakukkan kejahatan tersebut atas dasar kehendak dan ikhtiarnya sendiri yang harus dipertanggungjawabkannya, maka akan timbullah pertanyaan kenapa manusia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan jahatnya kelak di akhirat; memahami ayat yang menyatakan bahwa Allah SWT menyesatkan siapa saja yang Dia Kehendaki tanpa memahami makna hidayah dan perintah-perintah Allah untuk mencari hidayah dan membimbing orang lain dalam mencarinya akan menimbulkan pertanyaan kenapa orang-orang yang tidak mendapat hidayah akan disiksa di  niraka kelak.
Sekali lagi mari kita tegaskan pada diri kita bahwa contoh-contoh kesalahpahaman seperti di atas timbul karena pemahaman kita yang parsial terhadap Islam. Seharusnya, meyakini bahwa Allah SWT Maha Mengetahui, Maha Menghendaki, dan Maha Menentukan segala-galanya itu harus ikiuti dengan kekyakinan bahwa Allah juga Maha Bijaksana, Maha Adil, Maha Pengasih, dan lain-lain.

Minggu, 17 Februari 2013

Sepercik Hikmah di Pagi Hari


Pukul 08.30 pagi, saat segarnya sinar matahari diwaktu dhuha menceriakan alam kakiku mengayun menuju ladang yang jaraknya mungkin hanya 200 m dari rumahku karena ibu menyuruhku untuk memetik cabai rawit. 
Di jalan setapak dipekarangan belakang rumahku aku disambut oleh dua ekor belalang yang berbeda di atas dedaunan tumbuhan semak-semak di kanan dan kiri jalan. Sebenarnya aku ingin berlalu saja tapi melihat belalang di sebelah kiriku aku tertarik untuk mengamatinya. Aku penasaran belalang jenis apa ini. Sepertiny bukan jenis belalang yang biasanya aku temui di sawah. Masya Allah ternyata kaki belakang si belalang ini tinggal satu. Kasihan.. Pasti ia mengalami kesulitan dalam meloncat. Lalu ku pun memegang dan mengangkatnya dengan tanganku aku ingin mengaamati pangkal kakinya yang tlah putus. Subhanallah..  siapa yangmenyembuhkan dan menjaga belalang malang ini? Allah lah. Allah yang Maha Pengasih yang menjaganya hingga dalam keadaan yang seperti ini ia masih bertahan hidup. Aku coba untuk meletakkannya lagi diatas daun, aku ingin memotretnya. Tapi ia langsung meloncat begitu ku letakkan. Walau kaki belakangnya hanya satu tapi loncatanya cukup jauh.  Pelajaran yang diberikannya: bersabar dalam cobaan, kuat kuat dalam melangkah, tidak menjadikan kekurangan sebagai penghalang akan pencapaian yang seharusnya.
Dan di semak sebelah kananku diantara ranting dan daun menempel seekor belalang cokelat yang postur tubuh dan kaki-kakinya amat kurus tapi panjang, tubuuhnya hanya sebesar lidi terlebih kakinya lebih kecil lagi. Sehingga belalang ini sungguh mirip ranting. Waktu aku melihatnya pertama kali dulu akupun mengira bahwa itu ranting atau tangkai daun albasiah yang daun-daunnya telah rontok, tlah berubah warna menjadi cokelat dan tersangkut di atas semak. Tentu saja Allah membuatnya demikian untuk melindungi belalang ni dari musuh. Ah ini adalah belalang yang beberapa hari yang lalu aku ambil fotonya ketika lewat sini dan… wow ternyata ia menempati  posisi yang sama setidaknya pada ranting yang sama seperti lima hari yang lalu. Entah memang selama lima hari ini ia tidak meninggalkan tempatnya atau hanya kebetulan aku melihatnya pada tempat yang sama seperti aku lihat lima hari sebelumnya.
Aku tiba di ladang. Sinar mentari sudah cukup hangat, tapi menyegarkan. Ku menginjakkan kakiku di tanah ladang, rerumputan hijau masih bermadikan embun. Ku amati sekilas cabe-cabe yang akn ku petik. Sebagian pohon terserang hama sehingga buahnya busuk, sayang.. Tapi Alhamdulillah sebagian yang lain masih sehat dan bagus buahnya, cabai-cabai yang imut dan lucu.
Ah aku tidak nyaman dengan sandal jepit yang menjadi alas kakiku. Aku melepaskannya. Kubiarkan telapak kakiku menikmati empukknya tanah dan rerumputan yang sangat segar. Kumulai memetik cabai-cabai yang imut dengan mengucapkan basmallah dan juga hamdallah sebagai ungkapan syukur atas karunia  Allah. Subhanallah… kurasakan pagi ini semakin indah. Kicauan burung-burung kecil di atas ranting pohon jati yang belum begitu inggi disebelah ladangku ini begitu merdu dan indah. Sepertinya mereka sedang bernyanyi, bercengkerama penuh kecerriaan dan berbahgia menyambut hari. Ahai sungguh indah memetik cabai di pagi yang cerah dengan di temani meriahnya kicauan burung. Allah Yang Maha Pencipta-lah yang telah mencipta semua keindahan ini. Pagi ini hanyalah salah satu dari  milyaran pagi dan keindahan yang Dia Ciptakan di kolong langit ini.
Rasakanlah keindahan alam ini, disana ada Asma Allah. Bersyukurlah dan berbahagialah Allah masih menghadiahkan pagi ini  untukmu, Allah memberikan kesempatan untukmu memperbaiki diri. Manfaatkanlah sebaik-baiknya sisa hidupmu.
Waktu dhuha memang begitu indah dan bertabur berkah. Ya Allah jadikan aku jiwa-jiwa yang selau bersyukur kepada-Mu…