Takdir adalah rukun
iman yang ke 6 yang wajib di imani, namun aku merasa begitu sulit untuk
memahaminya. Di kepala orang awam pada umumnya apabila masalah takdir dikaitkan
dengan perbuatan manusia sering kali menimbulkaan berbagai pertanyaan,
misalnya:
- Jika segala sesuatu telah ditetukan oleh Allah SWT dan sudah di dituliskan di Lauh Mahfuzh, lalu untuk apa manusia berusaha? Apa peran dari usahanya itu?
- Jika Allah SWT adalah yang menciptakan kita dan seluruh perbuatan kita, lalu mengapa Ia mengadili perbuatan jahat yang kita lakukan, sedangkan Ia yang menciptakannya?
- Jika Allah SWT yang menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki, lalu kenapa orang-orang yang tidak mendapat petunjuk disiksa di neraka nanti?
Pertanyaan-pertanyaan
itu pula yang menghinggapi kepalaku, membuatku pusing, mengaduk-aduk isi kepala
dan hatiku, terutama pertanyaan yang ke tiga itu.
Akhirnya pada saat
aku kuliah di semester 1 di sebuah buku referensi mata kuliah AIK (aqidah Islam
dan Kemuhammadiyahan), aku menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di
atas.
Pertanyaan-pertanyaan
diatas dan pertanyaan-pertanyaan lain yang semacamnya timbul karena pemahamaman
yang parsial terhadap Islam, atau dengan ungkapan lain karena memahami takdir
sebagai suatu ajaran yang terlepas ddari konteks keseluruhan ajaran Islam.
Memahami ayat Al-Qur’an tentang kemutlakan masyiah
Allah SWT tanpa tanpa memahami
bahwa Allah SWT juga memberikan masyiah
kepada manusia, akan melahirkan pemahaman dan sikap jabariyah (meniadakan kehendak dan ikhtiar manusia); sebaliknya
memahami ayat Al-Qur’an tentang mayiah dan iradah manusia tanpa memahami kemutlakan
iraadah dan masyiah Allah SWT, akan melahirkan pemahaman dan sikap Qadariyah (manusia sepenuhnya yang
menentukan perbuatannnya sendiri tanpa campur tangan Allah SWT); memahami ayat
Al-Qur’an yang menyatakan bahwa segala sesuatu telah dituliskan di Lauh
Mahfuzh tanpa memahami bahwa tidak ada seorang manusia pun yang tahu apa yang telah
dituliskan di sana, akan menyebabkan seeorang mempertanyakan untuk apa manusia
berusaha; memahaimi bahwa Allah SWT menciptakan
segala sesuatu termasuk manusia dan perbuautannya tanpa memahami bahwa
Allah SWT tidak pernah menyuruh manusia berbuat kejahatan -bahkan menyuruh mereka berbuat kebaikan- ,
dan juga tanpa memahami bahwa manusia melakukkan kejahatan tersebut atas dasar
kehendak dan ikhtiarnya sendiri yang harus dipertanggungjawabkannya, maka akan
timbullah pertanyaan kenapa manusia harus mempertanggungjawabkan semua
perbuatan jahatnya kelak di akhirat; memahami ayat yang menyatakan bahwa Allah
SWT menyesatkan siapa saja yang Dia Kehendaki tanpa memahami makna hidayah dan
perintah-perintah Allah untuk mencari hidayah dan membimbing orang lain dalam
mencarinya akan menimbulkan pertanyaan kenapa orang-orang yang tidak mendapat
hidayah akan disiksa di niraka kelak.
Sekali lagi mari kita
tegaskan pada diri kita bahwa contoh-contoh kesalahpahaman seperti di atas
timbul karena pemahaman kita yang parsial terhadap Islam. Seharusnya, meyakini
bahwa Allah SWT Maha Mengetahui, Maha Menghendaki, dan Maha Menentukan
segala-galanya itu harus ikiuti dengan kekyakinan bahwa Allah juga Maha
Bijaksana, Maha Adil, Maha Pengasih, dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar